Rabu, 30 Juli 2008

DEKONSTRUKSI BUDAYA BISU DALAM DUNIA PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan kita nampaknya senantiasa muncul dan tak pernah berhenti. Carut marut pelaksanaannya pun semakin menjadi-jadi, yang hal ini tentu berpengaruh pada mutu dunia pendidikan kita. Rendahnya kualitas ini menjadi semakin tidak manusiawi acapkali kita saksikan ketika dalam prosesnya peserta didik benar-benar dijajah dan ditindas serta dipasung hak-haknya untuk menjadi manusia yang merdeka. Peserta didik yang seharusnya diposisikan sebagai subjek pendidikan diposiskan bagai bejana kosong yang siap diisi air tanpa diberi kebebasan untuk berfikir kritis. Sehingga yang terjadi suatu kondisi dari hari ke hari tercipta budaya membisu dalam dunia pendidikan kita semakin mengkristal. Persoalan ini tidak boleh dipandang remeh, karena hal ini menyangkut masa depan anak bangsa. Untuk itu perlu adanya dekonstruksi budaya bisu ini (culture of silent ) sebagai upaya mendudukkan peserta didik agar menjadi lebih manusiawi. Untuk itu perlu ditumbuh kembangkan kesadaran baik pada pendidiknya agar tidak merasa menjadi figure yang superior maupun pada peserta didik agar menuju dan memiliki tingkat kesadaran kritis yang mampu memberi kontribusi pada masa dan jamannya sehingga masa yang akan datang terwujud manusia-manusia Indonesia yang survive dan mampu berperan kreatif-kritis dalam dunia global yang ada ini.
B. Langkah Pembodohan Masal
Kesadaran kita diakui atau tidak ternyata masih berada dalam kondisi memprihatinkan. Untuk itu tidak ada cara lain kecuali kita harus terus belajar dan belajar untuk merubah kondisi semacam ini. Bangsa ini dulu pernah menjadi acuan Negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Thailand atau yang lain. Namun sekarang kita menanggung malu dan menjadi rendah.[1] Kalau dulu kita bisa mengirim tenaga ahli pendidikan sekarang kita hanya bisa mengirim tenaga murahan dan kasaran.[2] Untuk itu kalau kita ingin bangkit dan menajadi Negara yang maju tak lain dan tak bukan harus memperbaiki dunia pendidikan yang ada. Salah satunya, bagaimana proses pendidikan yang berlangsung di institusi pendidikan tidak sekedar formalitas belaka. [3]
Berlangsungnya pendidikan secara formal sangat perlu sekali, namun kalau pelaksanaannya hanya menekankan formalitas belaka tanpa menyentuh esensinya, maka yang terjadi out put dan out come-nya tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan ini tentu merupakan proses pembodohan masal. Padahal kita saksikan formalitas pelaksanaan pendidikan di Negara ini menjadi sesuatu yang terstruktur dan melembaga membentuk sistem dan budaya yang mendarah mendaging. Sekolah-sekolah pinggiran yang seharusnya sudah tidak layak masih tetap berdiri dan dipertahankan. Untuk hal ini seharusnya dunia pendidikan harus tegas. Di sisi lain, di dunia pendidikan tinggi misalnya juga masih nampak menunjukkan proses pendidikan yang formalitas, mengapa tidak? banyak mahasiswa yang seharusnya harus masuk kuliah minimal 75 % dari tatap muka, ternyata belum memenuhi harapan dan tetap mendapatkan nilai demi rasa kemanusiaan, sehingga target kualitas diabaikan.
Kita sering berdalil demi kemanusiaan tapi justru itu kalau direnungkan sangat tidak manusiawi karena dalam jangka panjangnya justru menghancurkan masa depan peserta didik yang ada. Kalau memang mahasiswanya banyak yang berlatar belakang sebagai pekerja yang sibuk maka akan lebih baik masuk saja dalam universitas terbuka. Atau alternative lain perguruan tinggi yang menjadi tempat belajar mahasiswa membuka program IT yang mana mahasiswa wajib membuka dan mengakses situs internet dan wajib mengadakan dialog melalui internet sebagai bentuk perkuliahan di luar kelas. Dan saya kira itu sah-sah saja karena kemajuan teknologi informasi perlu dimanfaatkan sebagai media pembelajaran pula.
C. Pendidikan Sistem Bank Melestarikan Budaya Bisu.
Pola memandang para peserta didik sudah saatnya harus dirubah. Kalau dahulu guru/dosen menganggap atau merasa dirinya satu-satunya sumber informasi maka barangkali saat ini pemahaman ini harus diluruskan. Karena hal itu pada akhirnya menempatkan peserta didik hanya sebagai objek pendidikan. Dan Pendidikan yang memandang orang sebagai objek hanya akan menghasilkan sifat manusia yang disebut necrophily (cinta benda mati) dan tidak menumbuhkan sifat biophily (cinta kehidupan). Orang yang dihinggapi necrophily hanya cinta akan segala sesuatu yang tidak bertumbuh dan segala sesuatu yang bersifat mekanis. Padahal ciri khas kehidupan manusia adalah pertumbuhan fungsional yang teratur.[4]
Pemilik sifat necrophily terdorong oleh keinginan mengubah benda organic menjadi anorganik dan menghadapi hidup seperti mesin, serta memandang semua orang seperti benda. Yang penting bagi manusia seperti ini adalah ingatannya belaka dan bukan hidup beserta pengalamannya. Pemilik sifat ini dapat berhubungan dengan realitas hanya jika ia memilikinya. Akhibatnya, ancaman atas harta bendanya selalu berarti ancaman atas dirinya dan jika ia kehilangan miliknya maka ia akan kehilangan kontak dengan dunia.[5] Dan ujung-ujungnya semakin mengkristalkan dan mengkokohkan budaya bisu (culture of silence).[6] Peserta didik menjadi tidak berdaya sehingga terkonstruk dalam dirinya menjadi robot-robot yang siap menjadi manusia yang akan bertindak subversi. Hal ini karena potensinya sebagai makhluk homo sapiens, homo social dan homo religious dikebiri. Peserta didik dipaksa untuk menerima segala ide-ide yang datang dari guru/dosennya. Pendidikan model ini, menjadi semacam aktivitas menabung di mana peserta didik duduk sebagai tabungan dan pendidik sebagai penabung. Sehingga yang terjadi peserta didik miskin kreativitas dan daya transformasi realitas yang dihadapinya. Pendidikan system bank ini, menempatkan peserta didik hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan pelajaran yang disampaikan pendidiknya.[7]
Untuk itu penyadaran terhadap para peserta didik haruslah ditumbuh kembangkan. Peserta didik harus diposisikan sebagai subjek pendidikan yang memiliki potensi yang tentunya perlu terus diberdayakan. Ia harus dirangsang, dimotivasi dan diarahkan untuk menemukan sejatinya dirinya sebagai manusia yang merdeka tidak terjajah walaupun dalam ruangan pendidikan sekalipun (class room).
D. Memberdayakan Kesadaran Transitif Kritis
Usaha untuk membongkar budaya bisu dalam dunia pendidikan bukan hal yang mudah. Perlu terus dilakukan sosialisasi baik terhadap guru/dosen sebagai pendidik atau peserta didik itu sendiri. Untuk itu sudah tidak jamannya bahwa diam itu emas dalam dunia pendidikan. Peserta didik, yang dikalangan pesantren kental disebut santri atau murid dalam istilah dunia pendidikan umum/nasional sesungguhnya harus terus mengembangkan tiga komponen penting yang dibawanya sejak lahir, yang itu bisa diambil dari istilah santri itu sendiri.[8] Sehingga istilah santri atau murid itu sendiri menurut hemat kami kalau di ambil dari bahasa Inggris yakni sign (tanda, isyarat, lampu) dan three (tiga). Atau kalau diambil dari istilah lain yaitu sundry (serba-serbi, bermacam-macam, berbagai hal).[9] Adapun tiga hal/tanda itu yang dimiliki manusia sejak lahir yakni akal, hati dan jasad yang membungkusnya. Atau dengan kata lain seorang peserta didik itu harus mampu memberdayakan berbagai hal yang dimilikinya baik apa yang ada dalam head (kepala), heart (jantung hati), hand (tangan) yang dalam dunia pendidikan boleh dikata sebagai unsure kognitif, afektif dan psikomotorik.[10]
Adapun istilah murid bagi peserta didik, sesungguhnya berasal dari bahasa Arab, yang maksudnya yakni orang yang menghendaki.[11] Untuk itu sebagai orang yang mengendaki tentu peserta didik harus melakukan kerja belajar aktif bukan sebaliknya ia hanya menunggu informasi dari guru/dosennya. Murid harus aktif berusaha memberdayakan ketiga komponen tersebut di atas tentunya dengan bimbingan guru pendidiknya.
Dari semua ini maka bisa dibilang sejatinya peserta didik (santri/murid) itu harus menjadi manusia yang merdeka yang mampu mengembangkan berbagai hal / macam –macam potensi akalnya untuk berfikir dan mengutarakan serta mencipta ide-ide yang genuine (asli) dengan tetap mengedepankan akhlakul karimah (moral-sopan santun) serta mampu mengayahi berbagai hal dengan terus melangkah secara progressif dan dinamis agar dapat berbuat dan memberi kontribusi dalam sejarah kehidupannya.
Dalam kaitan ini, barangkali tidak ada salahnya kalau saya juga mengutib konsep Paulo Friere tentang tiga tahap kesadaran manusia,[12] yakni Pertama; Intransitif-Semi Intransitif pada level ini manusia masih tenggelam dalam proses sejarah, tidak respek dengan berbagai problem, pasrah total, tidak mengenali eksistensi dirinya bahkan tidak punya kesadaran sejarah.[13] Kedua; Naif transitif, dalam kondisi ini manusia mulai respek terhadap problem-problem namun belum berani mengungkapkan pendapat dan ia masih juga pasif.[14] Ketiga; Transitif kritis, dalam hal ini seseorang mulai muncul keberanian berpendapat, respek terhadap problem, pikiran dan kepentingan bergerak ke alam lain, mulai berdialog dengan orang lain, dengan dunia (alam) bahkan dengan Tuhannya, serta cara berfikirnya sudah komprehensif.[15]
Ketiga konsep tentang tahapan kesadaran manusia yang diajukan Friere ini tentu tidak akan terwujud khususnya untuk menuju konsep yang terakhir jika tanpa dibarengi proses pendidikan yang memanusiakan manusia dimana peserta didik tidak diposisikan sebagai subjek pendidikan. Untuk itu sudah saatnya dunia pendidikan kita harus melakukan culture of silence deconstruction dengan cara memanusiakan peserta didik dengan memposisikannya sebagai subjek pendidikan. Sehingga guru/dosen tidak seharusnya terus mengkonstruk image pada peserta didiknya bahwa dirinya satu-satunya agent of knowledge. Walaupun dimungkinkan bahwa sesungguhnya keberadaannya mengungguli peserta didiknya. Maka akan lebih baik jika ia memposisikan sebagai sahabat dengan peserta didiknya, sehingga proses joyfull learning mewarnai dunia pendidikan dan peserta didik akan dengan senang hati melakukan diskusi, berbicara dari hati kehati dalam koridor pengembangan keilmuan tentunya.[16] Jika proses joyfull learning telah mampu dikondisikan maka tentu peserta didik akan terus termotivasi dan tumbuh kesadaran untuk terus mengembangkan potensi diri dengan belajar menemukan pengetahuan dari sumber aslinya atau dari berbagai leteratur dan referensi baik dari kitab suci dan as-sunnah, Ayat-ayat Kauniyah (alam semesta), Ayat-ayat Ijtima’iyah (interaksi sosial), Ayat-ayat Wujdaniyah (pengalaman pribadi),[17] karya tulis ilmiah, hasil penelitian terdahulu, yang harus dikaji dan ditelaah serta untuk didiskusikan bersama. Dengan mengawali hal ini maka peserta didik tentu terus akan menciptakan dan mengembangkan, tidak hanya new teory tetapi lebih jauh dari itu ia akan menciptakan peradaban yang memiliki high culture.
Untuk itu konsep belajar dalam filsafatnya Paulo Friere baik untuk kita perhatikan dalam kajian ini. Belajar itu sendiri menurut pandangan Friere sesungguhnya untuk reinventing (penemuan kembali), dan recreating (penciptaan kembali), serta menuju rewriting (penulisan ulang).[18] Sebab belajar itu bukan hanya mengonsumsi ide-ide pengajar belaka tetapi bagaimana peserta didik itu mampu menciptakan dan terus menciptakan ide-ide genuine nya. Jika konsep ini mampu diterapkan dalam dunia pendidikan tentu akan meruntuhkan culture of silence yang tidak memanusiakan manusia itu. Dan pada akhirnya terwujudlah tingkat kesadaran yang tinggi pada diri peserta didik (transitif kritis). Sehingga ia kedepan mampu mengukir dan mewarnai perjalanan sejarah masa dan zamannya. (Insya Allah)
E. Penutup
1. Berlangsungnya pendidikan secara formal sangat perlu sekali, namun kalau pelaksanaannya hanya menekankan formalitas belaka tanpa menyentuh esensinya, maka yang terjadi out put dan out come-nya tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan ini tentu merupakan proses pembodohan masal.
2. Dahulu guru/dosen menganggap atau merasa dirinya satu-satunya sumber informasi maka barangkali saat ini pemahaman ini harus diluruskan. Karena hal itu pada akhirnya menempatkan peserta didik hanya sebagai objek pendidikan. Dan ujung-ujungnya semakin mengkristalkan dan mengkokohkan budaya bisu (culture of silence). Pendidikan system bank ini, menempatkan peserta didik hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan pelajaran yang disampaikan pendidiknya.
3. Ada tiga komponen yang dimiliki peserta didik sejak lahir yakni akal, hati dan jasad yang membungkusnya. Untuk itu seorang peserta didik itu harus mampu memberdayakan berbagai hal yang dimilikinya baik apa yang ada dalam head (kepala), heart (jantung hati), hand (tangan) yang dalam dunia pendidikan boleh dikata sebagai unsure kognitif, afektif dan psikomotorik. Usaha memberdayakan semua itu tidak lain hanya dengan cara terus melakukan kegiatan belajar yang dengan memposisikan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Sehingga bertitik tolak dari sinilah timbul kesadaran transitif kritis, peserta didik mampu mengukir sejarah pada masa dan jamannya.
1. Dalam hal mengeksport barang teknologinya diantara Jepang, Singapura, Malaysia. Singapura merupakan pengekspor barang berteknologi tinggi (2000) yang 61 % merupakan high technology dan 7 % low technology. Sedang Indonesia menempati posisi 48 dengan 18% merupakan Medium technology export dan high technology, jauh dibanding dengan Malaysia yang meraih peringkat ke-
2. Lihat, Muh. Badrus Zaman, "Jangan Sekadar Lomba, Ciptakan Prestasi Iptek", dalam Opini-Metro (Sby: JP, senin, 1 Mei 2006), hlm. 41.
3. Berdasar data Depnakertrans ada 566.983 TKI berkerja di Malaysia dari total pekerja asing 769.556 orang. (Ini berarti sebagian besar tenaga asing yang bekerja di Malaysia berasal dari Indonesia). Adapun masalah gaji pekerja Indonesia disektor perkebunan rata-rata mendapat RM 320 (Rp. 800 Ribu) perbulan jauh lebih rendah dibanding dengan warga Negara Malaysia yang tergabung dalam serikat pekerja yakni RM 1.000 (Rp.2,5 Juta) perbulan. Lihat JP, Laporan Khusus (Sby: JP, senin, 15 Mei 2006), hlm. 14.
5. Secara umum kualitas SDM Indonesia belum sesuai harapan nasional, bahkan cenderung menurun apalagi memenuhi standar internasional. Hal ini berdasar laporan Bank Dunia No. 16369-IND. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan sukar sekali menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman/penalaran. The Third International Mathematics and Science Study (IEA,1999) menyatakan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi Siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-33 untuk IPA dan ke-34 untuk Matematika. Unesco (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Muman Development Index) menyatakan bahwa komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan menunjukkan semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia mmenempati urutan ke 102 pada tahun 1996, ke-99 pada tahun 1997, ke-107 pada tahun 1998, ke-109 pada tahun 1999. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), menunjukkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Lihat, Sumarna Surapranata, "Menyoal Pengendali Mutu Pendidikan." Dalam Buletin Pusat Perbukuan, Vol. 10, Upaya Menstandarkan Pendidikan Nasional (Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004), hlm. 4.
[4] Erich Fromm, The Heart Man (New York: Rinehart and Company Inc, 1966)
[5] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (Sheed and Ward Ltd.33 London: Maiden Lane, 1972) hlm. 64.
[6] Manakala manusia tidak mampu memanfaatkan kekuatan kritisnya, ia sama dengan binatang yang hanya sekedar hidup di dunia dan mengakomudasi dunia kebisuan. Lihat, Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire ( Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm. 39.
[7] Ibid., 74.
[8] Tidak jelas istilah santri ini diambil dari mana, namun bukan tidak ada para ahli yang mencoba ingin mengetahuinya. Menurut beberapa ahli antara lain Jhons, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang CC.Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Lihat, Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren ( Jakarta: LP3S, 1995), hlm. 18.
[9] Maksud kata sign (tanda, isyarat, lampu) dan three (tiga). Atau kalau diambil dari istilah lain yaitu sundry (serba-serbi, bermacam-macam, berbagai hal). Untuk itu lihat, John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 526, 589 dan 568.
[10] Menurut taksonomi Bloom, tiga domain ini yakni : Kognitif, Afektif dan Psikomotor, hendaklah ada pada peserta didik dari hasil pendidikan yang berupa perubahan tingkah laku. Lihat, Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 120.
[11] Dalam perspektif tasawuf, istilah Murid dalam prosesnya yakni mereka yang menghendaki Allah, sedang yang dikehendaki adalah al-murad. Sebagai al-murid, mereka harus melakukan perjuangan dengan penuh kesungguhan (aktif bukan pasif) dan melakukan usaha keras untuk mendapatkan dan memperoleh mukasyafah. Lihat, Abu Bakar Muhammad Ibn Ishaq al-Kalabadzi, al-Ta'arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, ditakhrij oleh Ahmad Syams al-Din, cet.I (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 15-16; Ahmad 'Abd al-Rahim al-Sabih, al-Suluk 'Ind al-Hakim al-Tirmidzi,cet.I. (Mesir: Dar al-Salam, 1988), hlm. 144-145, 217.
[12] Paulo Freire, Cultural Action for Freedom (Massachusetts: Harvard Eductional Review and Centre for Study of Development and Social Change, 1970), hlm. 55.
[13] Ibid., 37.
[14] Paulo Freire, Educational for Critical Consciousness (London: Sheed and Ward, 1979), hlm. 18. Lihat juga Freire, Pedagogy, hlm. 134-135.
[15] Freire, Cultural, hlm. 68-70.
[16] Lihat, Lelyveld, Pendidikan yang Membebaskan, Diktat Mhs. Kateketik (Yogyakarta: TP, tt), hlm. ii. Lihat Juga P. Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 66.
[17] Ini semua merupakan sumber khazanah intelektual Islam. Lihat, Ainurrofiq Dawam, “Menguji Kegilaan Wali Majdzub”, dalam Wali Sufi Gila (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), 13-15.
[18] Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Terj. Agung P & Fuad A.F, (Yogyakarta: ReaD, 2002), hlm. 29.

Tidak ada komentar: