Rabu, 30 Juli 2008

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Impian adanya pendidikan bermutu hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan. Demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Padahal sampai saat ini, tatanan kehidupan yang demokratis masih lebih banyak merupakan keinginan dari pada kenyataan.
Dalam alam yang tidak demokratis, tidak mungkin dapat mengelola pendidikan secara otonom, dan tanpa otonom tidak mungkin dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Orde Reformasi sebuah masa pasca Orde Baru, sedikit demi sedikit telah mulai membuka “kran kebebasan” yang semakin lebar dan memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan yang semakin kuat.
Dalam konteks otonomi daerah ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralis selama ini kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Sebab sistem pendidikan yang sentralis diakui kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah, keberagaman sekolah, serta keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan.[1]
Dengan kehadiran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (dimulai Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999) tentang pemerintah daerah, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan.[2]
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Bab II Pasal 2 ayat 2 dijelaskan sektor pembangunan yang masih menjadi urusan pemerintah (sentralistik) antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan dalam Bab III pasal 7 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa sektor pembangunan yang didesentralisasikan meliputi : 1) pendidikan, 2) kesehatan, 3) lingkungan hidup, 4) pekerjaan umum, 5) penataan ruang, 6) perencanaan pembangunan, 7) perumahan, 8) kepemudaan dan olah raga, 10) penanaman modal, 11) koperasi dan usaha kecil dan menengah, 12) kependudukan dan catatan sipil, 13) ketanaga kerjaan, 14) ketahanan pangan, 15) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, 16) keluarga berencana dan keluarga sejahtera, 17) perhubungan, 18) komunikasi dan informatika, 19) pertanahan, 20) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, 21) otonomi daerah, pemerintah umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian, 22) Pemberdayaan masyarakat dan desa, 23) sosial, 24) kebudayaan, 25) statistik, 26) kearsipan, dan 27) perpustakaan. Sedangkan dalam ayat 3 dan 4 dijelaskan tentang urusan pilihan yang menjadi potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, meliputi kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral serta pariwisata.
Sedangkan sektor pendidikan yang didesentralisasikan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah tertuang dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : (1) kebijakan, (2) pembiayaan, (3) kurikulum, (4) sarana dan prasarana, (5) pendidik dan tenaga kependidikan, dan (6) pengendalian mutu pendidikan.
Desentralisasi pendidikan perlu dilakukan karena berbagai studi tentang desentralisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah tidak dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu, sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan.[3]
Dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi di bidang pendidikan, terdapat banyak persoalan muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang pada dasarnya terkonsentrasi pada tingkat kabupaten dan kota. Desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi justru lebih jauh yaitu sampai pada tingkat sekolah.
Adanya otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para personel, menawarkan partisipasi langsung pihak-pihak terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
MAN Sidoarjo merupakan salah satu sekolah negeri sekaligus sekolah favorit yang ada di Sidoarjo. Dengan adanya perubahan paradigma baru, yaitu berupa desentralisasi pendidikan, sekolah diharapkan mampu menjalankan kewenangan yang telah diberikan pemerintah daerah kepada sekolah. Sebagai sekolah yang telah menjadi pilot project Departemen Agama Tingkat Pusat dalam pendidikan, maka diharapkan mampu menerapkan desentralisasi pendidikan secara benar. Ketika MAN Sidoarjo tidak paham tentang desentralisasi pendidikan, maka tidak menutup kemungkinan sekolah lain juga tidak paham tentang desentralisasi pendidikan. Tetapi jika MAN Sidoarjo paham tentang desentralisasi pendidikan, maka belum tentu sekolah lainnya juga paham tentang desentralisasi pendidikan.
Terkait dengan kenyataan di atas, mendorong peneliti untuk mengkaji lebih mendalam tentang kajian “Persepsi Guru MAN Sidoarjo tentang desentralisasi pendidikan”.

BAB II
KAJIAN TEORI


A. Konsep Desentralisasi Pendidikan
Definisi Desentralisasi Pendidikan
Secara umum desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang (autority) dan tanggung jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat pusat kepada institusi pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat sekolah.
Hoogerwerf dalam bukunya Hasbullah mengartikan desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan pemerintah, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu.[8]
Menurut Mulyasa Desentralisasi mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah pada tingkat propinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah.[9]
Kemudian dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pasal 1 (7) dijelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Dari definisi-definisi di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa desentralisasi pendidikan adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggung jawabkan kepada orang tua dan komunitas.
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu : pertama, desentralisasi kewenangan di sector pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan focus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.[10] Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa Negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sector pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources, dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat).
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu factor yang paling menentukan.
Faktor-faktor yang Melatar Belakangi Desentralisasi Pendidikan
Pada hakekatnya manusia dilahirkan dalam potensi yang berbeda. Oleh karenanya, mekanisme pengembangan karakter dan kemampuan yang dapat dilakukan di lembaga pendidikan, seyogyanya harus memiliki bentuk keberagaman, baik dari segi akademik maupun non akademik. Di sisi lain, adanya keanekaragaman potensi daerah, telah mengharuskan ditumbuhkembangkannya model pendidikan yang dapat menggali kekayaan di sekitar lembaga pendidikan berdiri.
Untuk memberikan ketepatan pelaksanaan pendidikan yang dilandasi oleh kepentingan pengembangan keberagaman potensi sumber daya manusia dan alam setiap daerah, dapat ditempuh pelimpahan wewenang dalam prinsip desentralisasi. Di antara yang menjadi faktor-faktor latar belakang desentralisasi pendidikan menurut Isbandi[11] antara lain :
a. Mutu pendidikan
Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui consensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi yang mungkin akan berbeda antar sekolah atau antar daerah akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal normal (mainstream), dan unggulan;
b. Efesiensi
Peningkatan efesiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan;
c. Relevansi pendidikan
Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambil keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa. Peran komite sekolah meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja sekolah;
d. Pemerataan dan Keseimbangan.
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah plat merah atau palt kuning. Semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2)[12].
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 1945, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Dengan demikian UU sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
e. Partisipasi Masyarakat
Kondisi sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki pemerintah daerah dan kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat dan pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat[13].
Desentralisasi pendidikan, harus mendorong Pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperan sebagai sumber, pelaksana dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).
Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standart nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli terhadap pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidika, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga,sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarki (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggung jawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3)[14].
f. Akuntabilitas
apabila partisipasi masyarakat dibutuhkan di dalam menentukan arah hidup bersama maka sudah tentu pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang bermakna bagi kehidupan bersama. Apabila pendidikan disingkirkan dari tanggung jawab dan partisipasi masyarakat, maka pendidikan itu akan menjadi asing dari masyarakat karena tidak memberikan jawab terhadap kebudayaan nyata. Dengan kata lain pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya masyarakatnya, adalah pendidikan yang tidaka mempunyai akuntabilitas. Semakin besar partisipasi masyarakat di dalam pendidikannya, semakin tinggi pula akuntabilitas pendidikan, termasuk di dalam relevansi pendidikan terhadap kebutuhan yang nyata dalam masyarakat.
Demikianlah demokratisasi pendidikan menurut desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dengan segala aspek di dalamnya. Selanjutnya desentralisasi pendidikan memungkinkan peningkatan partisipasi masyarakat di dalam usahanya untuk menciptakan masyarakat madani. Masyarakat madani Indonesia berdasarkan kepada kebhinekaan budaya Indonesia yang secara keseluruhannya menentukan akuntabilitas dan relevansi pendidikan.
Hal ini semua bisa terwujud manakala sistem pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa mengarah kepada sebuah sistem pendidikan desentralisasi dalam seluruh aspek bukan lagi bersifat sentralistik.
Jenis-jenis Desentralisasi Pendidikan
Menurut Fiske dan Drost dalam Sirozi [15] jenis desentralisasi pendidikan dilihat dari sasarannya, bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administratif. Desentralisasi pendidikan bersifat politik atau demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di tingkat pemerintah yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem. Desentralisasi administrasi atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi tanggung jawab dan wewenang untuk perencanaan, manajemen keuangan dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan pada pemerintah di tingkat-tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
Sedangkan menurut fiske dan Drost dalam Sirozi[16] jenis desentralisasi pendidikan dilihat dari wewenang yang diberikan, dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat tetap mempunyai kontrol penuh.[17] Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
b. Delegasi (pelimpahan)
Menurut Rondinelli yang dikutip oleh Abu Duhou delegasi adalah memindahkan tanggung jawab manajerial atau fungsi tertentu ke organisasi di luar struktur birokrasi luar, yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Implikasi wewenang tersebut bahwa otoritas pusat melimpahkan kepada satu badan fungsi dan tugas tertentu, yang badan itu mempunyai wewenang melaksanakannya. Namun demikian tanggung jawab kunci tetap berada di tangan otoritas berdaulat (otoritas pusat)[18]
c. Devolusi
Devolusi adalah penciptaan atau penguatan unit pemerintah di daerah, baik secara legal maupun financial, di mana aktifitasnya secara substansial berada di luar pengawasan langsung pemerintah pusat. Maka unit pemerintah daerah bersifat otonom dan mandiri dan pemerintah pusat hanya menjalankan pengawasan secara tidak langsung.[19]
Dari pengelompokan jenis desentralisasi tersebut, Fiske menyatakan bentuk paling lemah dari desentralisasi adalah dekonsentrasi, yang tidak lebih dari pengalihan tanggung jawab manajemen dari pusat ke daerah atau tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pengawasan pemerintah pusat masih tetap dominan. Di sisi lain, delegasi adalah pendekatan yang lebih ekstensif dari desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepad tingkat yang lebih rendah, dengan pengertian bahwa kewenangan yang didelegasikan tersebut dapat ditarik kembali. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling luas dimana pelimpahan kewenangan finansial, administratif dan masalah paedagogis berlangsung secara permanen, dan tidak dapat ditarik kembali dengan seenaknya oleh pejabat pusat.[20]
Hakikat Desentralisasi Pendidikan
Menurut Wohlsetter dan Mohrman yang dikutip oleh Nurkholis terdapat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu power/autority, knowledge, information dan reward. Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/autority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personel dan kurikulum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah, guru dan staf sekolah.
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumber daya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : ketrampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), ketrampilan kelompok (team work skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizasional knowledge). Ketrampilan kelompok di antaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan ketrampilan berkomunikasi. Sedangkan yang termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus didesentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak. Maka pada era desentralisasi harus didistribusikan ke seluruh contituens sekolah bahkan ke seluruh stakeholders. Adapun yang perlu disebarluaskan antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan, struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan pelangganya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, penghargaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah, berupa uang, penghargaan non fisik berupa kenaikan pangkat melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran.[21]
Ruang Lingkup Desentralisasi Pendidikan
Menurut Jalal dan Musthafa dalam bukunya Sirozi[22], ada dua konsep yang berbeda, tetapi saling terkait dalam desentralisasi pendidikan. Konsep pertama berkenaan dengan isu umum desentralisasi, yaitu transfer otoritas kebijakan pendidikan dari pusat ke daerah. Dalam konsep ini, pemerintah harus mendelegasikan kebijakan-kebijakan pendidikan kepada pemerintah daerah beserta dana yang dibutuhkan untuk membiayai tanggung jawab yang dibebankan. Pemerintah perlu menghitung kebutuhan masing-masing pemerintah daerah, tetapi pemerintah daerah yang memutuskan berapa banyak dan belanja pendidikan apa yang diperlukan. Konsep kedua berkenaan dengan pergeseran berbagai keputusan pendidikan dari pemerintah ke masyarakat. Ide dasar di balik konsep ini, bahwa masyarakat harus lebih tahu dan memutuskan sendiri program pendidikan yang dikehendaki karena masyarakatlah yang akan memanfaatkannya.
Dengan dua konsep tersebut maka jelaslah bahwa tujuan utama desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ada semacam konsenseus global, khususnya di kalangan negara berkembang, bahwa melakukan desentralisasi adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait, maka desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian keputusan tentang beberapa faktor. Menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut :
a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal dan evaluasi diri.
b. pengelolaan kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
c. pengelolaan proses belajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan tehnik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
d. pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f. pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. pelayanan siswa. Pelaanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
h. hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesntralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
i. pengelolaan iklim sekolah. Iklim sekolah yang kondusif akademik merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
Di satu pihak khususnya bila paradigma desentralisasi diterapkan dalam bidang administrasi, desentralisasi pendidikan terbukti di banyak negara dapat membawa pengaruh positif terhadap prestasi siswa karena dalam penerapannya dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi kegiatan pendidikan.[23]

B. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan dan Kendala Pelaksanaannya
1. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan
Pemberlakuan UU Otonomi Daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia, termasuk juga dalam aspek pendidikan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Bab II Pasal 2 ayat 2 dijelaskan sektor pembangunan yang masih menjadi urusan pemerintah (sentralistik) antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sedangkan dalam Bab III pasal 7 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa sektor pembangunan yang didesentralisasikan meliputi : 1) pendidikan, 2) kesehatan, 3) lingkungan hidup, 4) pekerjaan umum, 5) penataan ruang, 6) perencanaan pembangunan, 7) perumahan, 8) kepemudaan dan olah raga, 10) penanaman modal, 11) koperasi dan usaha kecil dan menengah, 12) kependudukan dan catatan sipil, 13) ketanaga kerjaan, 14) ketahanan pangan, 15) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, 16) keluarga berencana dan keluarga sejahtera, 17) perhubungan, 18) komunikasi dan informatika, 19) pertanahan, 20) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, 21) otonomi daerah, pemerintah umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian, 22) Pemberdayaan masyarakat dan desa, 23) sosial, 24) kebudayaan, 25) statistik, 26) kearsipan, dan 27) perpustakaan. Sedangkan dalam ayat 3 dan 4 dijelaskan tentang urusan pilihan yang menjadi potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, meliputi kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral serta pariwisata.
Sedangkan sektor pendidikan yang didesentralisasikan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah tertuang dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : (1) kebijakan, (2) pembiayaan, (3) kurikulum, (4) sarana dan prasarana, (5) pendidik dan tenaga kependidikan, dan (6) pengendalian mutu pendidikan.
Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam Bab II pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana prasarana serta kepegawaian.
Jumlah kewenangan yang begitu besar tersebut membawa perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholders di dalamnya. Jika pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah, stakeholders pendidikan sepenuhnya berada di tangan aparat pusat, maka di era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholders akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan.
Sejalan dengan arah otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemerintah daerah akan meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan unuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.[24]
Dalam pelaksanan desentralisasi pendidikan, harus memperhatikan pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan yang menurut Tilaar dalam Marihot Manulang[25] mencakup enam aspek, yaitu :
1) Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah;
2) Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan;
3) Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah;
4) Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan;
5) Hubungan kemitraan stakeholders pendidikan; dan
6) Pengembangan infrastruktur sosial.
Dengan demikian, secara garis besar dalam rangka menerapkan desentralisasi pendidikan baik di tingkat daerah, kota maupun sekolah paling tidak harus memiliki beberapa syarat, yaitu :
a. Adanya delegasi authory dari pemerintah pusat kepada tingkat di bawahnya seperti daerah, kota atau sekolah dengan masih dalam kerangka kebijakan nasional
b. Adanya pemahaman yang mendalam dari praktisi pendidikan berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi pendidikan agar supaya tidak tumpang tindih dalam proses pelaksanaan sehingga akan tercipta kesatuan pemahaman untuk mempermudah pencapaian tujuan
c. Adanya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan (community based education)
d. Penguasaan kemampuan dasar oleh praktisi pendidikan terutama di tingkat sekolah, kemampuan dasar tersebut yaitu : kemampuan manajerial, kemampuan sense of business, kemampuan sense of educated.
Dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan juga dibutuhkan adanya Kolaborasi antara ketiga pelaku utama pendidikan, yaitu pemerintah daerah, pihak sekolah dan masyarakat. Ketiga pelaku utama pendidikan tersebut berfungsi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi dengan manajemen yang lebih baik.
2. Kendala Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan
Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Menurut Hasbullah[26] masalah-masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan dan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Masalah Kurikulum
Sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan berbagai macam keragaman, seperti budaya, adat, suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidikan tidak sekadar daftar mata pelajaran yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan. Dalam pengertiannya yang luas, kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu, jugs berkenaan dengan proses yang terjadi di dalam lembaga (proses pembelajaran), fasilitas yang tersedia yang menunjang terjadinya proses dan akhirnya produk atau hasil dari proses tersebut.
Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut :
1) Tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompeten;
2) Tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenangkan;
3) Tersedianya fasilitas bantu untuk proses belajar mengajar;
4) Adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing, pustakawan, laboran;
5) Tersedianya dana yang memadai;
6) Manajemen yang efektif dan efisien
7) Terpeliharanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religius, moral, kebangsaan dan lain-lain;
8) Kepemimpinan pendidikan yang visioner, transparan dan akuntabel
Kurikulum sekolah yang amat terstruktur dan sarat beban menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik dan kurang mampu memupuk kreatifitas murid untuk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat. Namun demikian, pada zaman reformasi dan keterbukaan seperti sekarang, permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dikembangkan secara sentralistik dan memasung kreatifitas masyarakat, menjadi pola pikir kemitraan. Dampak langsung dari sekian lama sistem sentralistik yang dijalankan adalah terpolanya cara berfikir masyarakat kebanyakan, baik birokrasi, para pendidik, maupun masyarakat umumnya. Mereka terbiasa berpikir dan bekerja dengan adanya juklak, juknis serta aturan sehingga sulit lahirnya kreativitas, improvisasi, inovasi. Kemitraan yang dimaksud adalah kemitraan antara masyarakat dan kelembagaan-kelembagaan pendidikannya.
Dalam kaitan dengan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain perlu dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat beberapa tahun mendatang. Hal ini penting, apalagi sekarang masyarakat cenderung lebih berpikir prakmartis, yakni suatu tuntutan kepada lembaga pendidikan untuk dapat melahirkan out-put yang mampu menjamin masa depannya terutama dalam sektor dunia kerja. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus tetap dijaga agar selalu responsif dalam mengikuti perkembangan teknologi yang menunjang pelaksanaan tugas lapangan di lapangan.
b. Masalah Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, di antaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Prinsip the right man on the right place semakin jauh pelaksanaannya. Implementasi desentralisasi pendidikan masih menyimpan beberapa kendala seperti dalam pengangkatan pengelola pendidikan yang tidak memerhatikan latar belakang dan profesionalisme, Kepala Dinas pendidikan diangkat dari mantan camat, Kepala Dinas Pasar, dan bahkan Kepala Dinas Pemakaman yang terkadang sama sekali tidak mengerti masalah pendidikan. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang banyak, mereka mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peserta didik dan manusia yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah, pengelolaan sumber daya manusia di daerah baik di provinsi, kabupaten dan kota memang cukup memprihatinkan. Pimpinan daerah (gubernur, bupati, dan walikota) yang kekuasaannya sangat besar kadang-kadang menempatkan orang-orangnya secara serampangan dan jarang memerhatikan aspek profesionalisme. Koordinasi lembaga juga agak terhambat karena tidak ada hubungan secara hierarkis antara lembaga yang yang ada di tingkat kabupaten/kota dengan provinsi. Tidak jarang ketika Dinas Pendidikan Provinsi harus melakukan koordinasi dengan Dinas pendidikan kabupaten/kota, tetapi pada waktu bersamaan di kabupaten dan kota juga dilaksanakan rapat dinas dengan bupati/walikota, maka Kepala Dinas Pendidikan biasanya lebih memilih mengikuti rapat dengan bupati/walikota yang merupakan atasannya, ketimbang mengikuti rapat atau koordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi. Akibatnya hanya urusa yang mewakili Kepala Dinas Kabupaten/kota yang bisa hadir, daan dalam hal ini terkadang informasi yang diperoleh juga tidak pas dengan apa yang diharapkan. Fenomena ini sudah lumrah terjadi sejak dilaksanakannya otonomi daerah.
Bagaimanapun sumber daya manusia yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan sistem pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan ditempatkan di dunia kerja yang ditekuninya.
Dalam bidang kepegawaian tampak bahwa rotasi atau mutasi pegawai atau guru antar kabupaten/kota dan provinsi sulit dilaksanakan karena alasan terbatasnya Dana Alokasi Umum (DAU), karena sektor penggajian guru biasanya masuk dalam alokasi dana DAU, sehingga pengurangan tenaga pegawai PNS guru yang disebabkan pindah ke kabupaten/kota atau provinsi yang lain, akan dianggap cukup memberatkan bagi daerah yang bersangkutan, terlebih-lebih bagi daerah yang minus sumber daya alamnya. Tidak jarang proses kepindahan guru harus melalui proses panjang dan berbelit-belit. Dari minta persetujuan Kepala Sekolah, Kepala Cabang Dinas, Kepala Dinas, sampai asisten bidang administrasi, sekretaris daerah, dan Bupati/Walikota. Untuk pegawai pusat biasanya meskipun Surat Keputusan pindah dari Mendiknas sudah terbit, tetap tidak dapat dilaksanakan secara langsung.
Pengelolaan dan pembinaan pegawai negeri di kabupaten/kota satu dengan lainnya tidak sama, sehingga sering menimbulkan kecemburuan antar pegawai kabupaten/kota atau provinsi. Kekurangan tenaga guru sulit diatasi karena mutasi PNS/guru kabupaten/kota maupun provinsi tidak dapat dilakukan. Dalam kondisi seperti ini akibatnya sangat merugikan daerah untuk dapat maju dan berkembang sesuai dengan potensi sumber daya manusia yang dimilikinya.
c. Masalah Dana, Sarana dan Prasarana Pendidikan
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia, dan dana juga merupakan salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih terlalu rendah. Padahal kalau mau belajar dari bangsa-bangsa yang maju bagaimana mereka membangun, justru mereka berani secara nekad menempatkan anggran untuk pembiayaan pendidikan melebihi keperluan-keperluan yang lain.
UU nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebenarnya sudah mengamanatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat 1 dikemukakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum tersebut dengan berbagai dalih dan alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan. Sementara itu, di daerah baik para eksekutif maupun legislatif masih sibuk berdebat dan sok-pintarnya, sehingga menimbulkan kesan bahwa pendidikan merupakan bagian dari pembangunan yang belum diprioritaskan.
Dana masyarakat yang selama ini digunakan untuk membiayai pendidikan belum optimal teralokasikan secara proporsional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah menjadi semakin tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan sangat tergantung pengadaannya dari pemerintah.
Sementara itu, dalam konteks pembiayaan, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan dialokasikan pada APBD. Terlihat jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Hal ini di samping pemahaman pimpinan daerah tentang pendidikan, banyak yang masih sangat terbatas, tidak jarang mereka juga menempatkan pembangunan pendidikan bukan berada pada skala prioritas. Umumnya di daerah, termasuk Pimpinan Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), DPRD dan pengambil kebijakan yang lain, bila berbicara tentang pendidikan semua sepakat merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus menjadi prioritas pembangunan. Namun, ketika sampai pada tahap implementasi dan pengambilan kebijakan di APBD, semuanya tidak ada lagi yang mampu berbuat banyak. Bagi pimpinan daerah pendidikan mungkin saja merupakan prioritas yang ke berapa setelah mobil dinas, rumah dinas, proyek fisik-fisik yang lain dan sebagainya.
Dalam konteks ekonomi, pada dasarnya pendidikan merupakan investasi panjang yang hasilnya tidak bisa dilihat satu dua tahun, tetapi jauh ke depan. Sebagai suatu investasi produktif, mestinya pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep utama, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan ini sendiri menurut Ace Suryadi[27] terdapat empat agenda kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue); (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran; (3) aspek efisiensi dalam pendayagunaan anggaran; dan (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan.
Sementara itu, dalam bidang perlengkapan, sering kali terjadi rebutan aset, dan umumnya aset departemen beralih menjadi aset provinsi. Pengaturan penggunaan aset belum tentu sesuai dengan beban tugas masing-masing instansi dinas. Sementara proses penghapusan barang melalui waktu yang lama dan birokrasi yang sangat panjang.
d. Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidikan antar kabupaten/kota dan propinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik menyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan sebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 dikemukakan bahwa masing-masing daerah prpinsi, kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki termasuk di dalam pendidikan. Sementara itu, pada UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan lagi pada pasal 2 ayat 1 Negara Kesatuan republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah. Dan ayat 2 pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asa otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan satu sistem, keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu sama lain untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.[28]
Proses desentralisasi kelembagaan pendidikan merupakan proses yang cukup rumit. Hal ini sebagaimana digambarkan Soewartoyo, dkk dalam Hasbullah[29] disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1) desentralisasi kelembagaan pendidikan akan menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang faktual
2) desentralisasi kelembagaan pendidikan harus mengelola sumber dayanya dan sekaligus memanfaatkannya
3) desentralisasi kelembagaan pendidikan harus melatih tenaga kependidikan dan tenaga pengelola tingkat lapangan yang profesional
4) desentralisasi kelembagaan pendidikan harus menyusun kurikulum yang tepat guna
5) desentralisasi kelembagaan pendidikan juga harus dapat mengelola sistem pendidikan yang didasarkan pada kehidupan sosial budaya setempat.
Sebagai gejala umum, jenjang an jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya, seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan pendidikan menengah. Demikian juga dengan kelembagaan pendidikan menengah tidak tampak ada hubungannya dengan kelembagaan pendidikan dasar. Pemilahan jenis dan jenjang kelembagaan pendidikan ini tampaknya merupakan hasil dari sistem birokrasi dan sentralisasi pengelolaan kelembagaan pendidikan. Dengan demikian, kelembagaan pendidikan tampaknya terpisah dan eksklusif dari masyarakatnya, serta tidak mengabdi pada kebutuhan masyarakat dan daerah.
Kelembagaan pendidikan yang memiliki orientasi pada masyarakat, serta setidaknya dimiliki oleh komunitas masyarakat lokal, menurut kelembagaan-kelembagaan yang baru berdasarkan paradigma pengembangan kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan kelembagaan pendidikan daerah.
e. Masalah Perundang-undangan
Bagaimanapun sistem sentralisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol dan sumber-sumber dana pendidikan. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk masa kini, selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi penerapan desentralisasi pendidikan di daerah, seperti tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya di daerah, tipe dan kualitas kematangan SDM yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dunia industri dan sebagainya.
Kenyataan tersebut mengisyaratkan perlunya pemikiran dan kajian yang lebih matang dalam menyiapkan situasi lokal dan sekolah agar desentralisasi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dapat terlaksana sebagaimana yang menjadi keinginan bersama.
f. Masalah Pembinaan dan Koordinasi
UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamantkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan-pembinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisasi.
Di samping pembinaan, koordinasi juga sangat diperlukan bagi daerah, hal ini terutama untuk menghindari seperti terjadinya tumpang tindih program, gap antar daerah dan sebagainya.
Sayangnya selama pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dan koordinasi ini semakin sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya gengsi antarpejabat, yang biasanya bupati/walikota enggan selalu berkonsultasi dengan gubernur karena merasa bukan bawahan dan tidak memiliki hubungan hierarkis. Maka ketika rapat-rapat dinas dan koordinasi dilakukan yang semestinya harus diikuti utusan-utusan dari kabupaten/kota. Hal demikian berimplikasi kepada bawahannya, termasuk di Dinas Pendidikan. Sering kali Kepala Dinas Pendidikan dan Prpinsi kesulitan melakukan rapat-rapat koordinasi dengan Kepala-kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/kota, sebab pada waktu bersamaan Bupati/walikota juga melakukan melakukan rapat dinas. Karena Bupati/walikota merupakan atasan Kepala Dinas Kabupaten/kota, tentu saja lebih mementingkan rapat dinas dengan atasannya.
Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan dan regulasi otonomi daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran Dinas Pendidikan sebagai atasannya belum sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada akademik activity.
Dengan demikian permasalahan pokok yang menyebabkan pelaksanaan desentralisasi pendidikan belum berjalan, diantaranya yaitu: 1) belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota; 2) pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksanakan secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai; 3) dana pendidikan dan APBD belum memadai; 4) kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan; 5) otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama; dan 6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
3. Solusi dalam Menghadapi Kendala dalam Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan
Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat.[30] Otonomi tanpa disertai akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dari otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu :
a. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Marihot Manulang[31] bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dari segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dari segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dari segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut :
1) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal);
2) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning)
3) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut penelitian Simmons dan Alexander yang dikutip oleh Marihot Manulang[32] bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat dan daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, pimpinan sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orang tua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama, salah satu tujuan UU No 20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenau) dan penggunaannya (exependiture) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada sutau daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
c. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki poltikal will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju Pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan dari DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintah daerah, kota memberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
d. Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki pemerintah daerah kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
e. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standart mutu. Jadi pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.

C. Implikasi Umum Desentralisasi pendidikan
Hakikat desentralisasi dan otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang yang disertai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintah sedemikian rupa sehingga pelayanan masyarakat akan menjadi lebih baik, dan pembangunan daerah dapat lebih terarah serta optimal.
Menurut Mulyasa[33], implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah, kepegawaian yang menyangkut perubahan dan Pemberdayaan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan.
Tim Teknis BAPPENAS bekerjasama dengan Bank Dunia[34] merumuskan beberapa konsep dan implikasi akibat desentralisasi atau otonomi daerah, yaitu 1) implikasi administrasi, yakni pemberian wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat; 2) implikasi kelembagaan, yakni membutuhkan daerah untuk meningkatkan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah; 3) implikasi keuangan, yaitu kebutuhan dana yang lebih besar untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan 4) implikasi pendekatan kewilayahan yang dimulai dari bawah, dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin.
Dalam perspektif dampaknya, Abdul Halim[35] mengemukakan bahwa indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik; kehidupan demokrasi yang semakin maju; keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan memerhatikan konsep kinerja program pembangunan yang dilaksanakan.
Kebijakan otonomi daerah, bagaimanapun akan membawa implikasi yang besar dalam berbagai tatanan pemerintahan, baik pusat maupun daerah, tak terkecuali dalam hal ini dalam bidang pendidikan.[36] Pendidikan merupakan salah satu kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Namun dalam penyelenggaraannya ternyata banyak mengalami persoalan, meskipun hal ini bukan merupakan alasan orang untuk menyalahkan kebijakan otonomi daerah, sebab pada dasarnya lebih banyak bertumpu pada kesiapan daerah itu sendiri, terutama menyangkut sumber daya manusia daerah dan pemahaman orang terhadap otonomi daerah sendiri.
Sistem pendidikan di negara kita dalam kurun waktu yang panjang menggunakan prinsip sentralisasi, yakni semua hal diatur oleh pemerintah pusat. Sentralisasi pengaturan pendidikan ini terlihat nyata dalam kurikulum, seragam siswa, waktu belajar, pengaturan guru atau ujian. Salah satu keuntungan sentralisasi adalah standart mutu secara nasional sama. Sekolah-sekolah dapat menggunakan standar tersebut sebagai acuan memajukan pendidikannya.[37]
Desentralisasi pendidikan dibangun atas dasar filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Dalam desentralisasi, pejabat daerah pada masing-masing satuan pendidikan diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan pendidikan dan mengelola faktor-faktor pendukungnya, seperti pengadaan, alokasi, pemeliharaan, serta pendayagunaan sumber daya pendidikan secara efisien.
Dalam kebijakan desentralisasi pendidikan, pemindahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bukanlah hal penting, yang penting adalah mendorong terjadinya proses otonomi baik pada pemerintah daerah maupun pada setiap satuan pendidikan agar memiliki kemampuan untuk mengelola dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan adil. Kendatipun dalam hal ini sangat ditentukan oleh kekuasaan suatu daerah otonom yang dapat dilihat dari besarnya APBD masing-masing yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti pajak daerah, dana perimbangan, sumbangan pihak ketiga, serta sumber-sumber pendapatan lainnya.
Agar setiap daerah dapat menyelenggarakan pendidikan secara merata dan relatif tidak ketinggalan jauh dari daerah-daerah lainnya, anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat (APBN) di antaranya yang disalurkan melalui berbagai skema, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi, dan Dana tugas pembantuan akan berfungsi sebagai faktor penyeimbang sehingga masyarakat di setiap daerah dapat menerima pelayanan pendidikan yang bermutu, merata dan adil.
Ternyata desenatralisasi dan otonomi pendidikan tidaklah sederhana, karena menyangkut berbagai pihak yang berkepentingan, berbagai dimensi yang berkaitan satu sama lain, serta berbagai dinamika dengan cakupan yang sangat kompleks dan luas. Di sisi lain, perubahan yang demikian cepat akibat kebijakan desentralisasi telah menempatkan pemerintah dan masyarakat daerah pada posisi terpaksa siap untuk menerima tanggung jawab baru. Namun demaikian, permasalahan dalam pembangunan pelayanan pendidikan akan dapat teratasi sejalan dengan meluasnya pemahaman terhadap konsep, prinsip-prinsip, aturan pelaksanaan, serta berbagai permasalahan.
Posisi dan kedudukan Dinas Pendidikan di era otonomi daerah tampaknya mengalami perubahan paradigma yang cukup berarti. Perubahan paradigma tidak saja akibat diberlakukannya otonomi daerah. Sekarang dengan diberlakukannya PP Nomor 8 Tahun 2003 akan menambah rumit Dinas Pendidikan sebab tidak mustahil tidak hanya masalah pendidikan yang ditangani, tetapi bisa saja bidang-bidang lain akan bergabung dalam Dinas Pendidikan. Pasalnya, berdasarkan PP ini pembentukan sebuah Dinas memenuhi scoring tertentu. Bila tidak memenuhi, beberapa bidang yang dianggap relevan boleh bergabung. Di samping itu menurut PP nomor 8 Tahun 2003 pembentukan dinas untuk daerah kabupaten dan kota ibatasi maksimal 14 dinas, dan untuk propinsi maksimal 10 dinas.
Hal ini merupakan implikasi logis diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. perubahan paradigma itu antara lain terkait dengan perencanaan berbagai program pembangunan daerah otonom, termasuk di dalamnya pembangunan sektor pendidikan. Pembangunan program pendidikan sekarang lebih bertupu pada prinsip-prinsip demokratisasi, peran serta masyarakat, Pemberdayaan potensi sumber daya yang dimiliki daerah.
Kabupaten dan kota sebagai basis pengelolaan pendidikan dalam otonomi daerah, menurut Rasdi Ekosiswoyo dalam Hasbullah[38] menerima beberapa konsekuensi, yaitu :
Ø Pelimpahan kewenangan administrasi pendidikan yang lebih besar yang diberikan kepada kabupaten dan kota untuk melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya
Ø Pelimpahan perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja di daerah
Ø Pelimpahan menyangkut perubahan dan pemberdayaan sdm yang menekankan paa profesionalisme, dan
Ø Pelimpahan prubahan penanganan anggaran pembangunan yang akan dikelola langsung dari pusat ke kabupaten dan kota dalam bentuk block grant, sehingga menghilangkan kekakuan dan pengotakan dalam penanganan anggaran. Untuk anggaran pendidikan di sekolah selanjutnya akan diberikan langsung ke sekolah-sekolah.
Makna otonomi dalam pembangunan sektor pendidikan adalah pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab secara profesional untuk mengambil prakarsa dan merumuskan rencana pembangunan pendidikan secara partisipatif, koordinatif dengan memberdayakan segenap potensi sumber daya yang dimiliki. Sumber daya Dinas pendidikan yang dimaksud meliputi keberadaan unti –unit pada struktur organisasi Dinas Pendidikan, kualifikasi dan kompetensi tenaga, mekanisme kerja dan dukungan sumber daya keuangan.
Implementasi desentralisasi pendidikan memiliki beberapa kebaikan-kebaikan, adapun kebaikan-kebaikan dari desentralisasi menurut Yosef Riwu Kaho yang dikutip oleh Isbandi[39] adalah :
Ø Mengurangi bertumpuk-tumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
Ø Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak, Pemerintah Daerah tidak perlu menunggu instruksi dari Pusat.
Ø Dapat mengurangi birokrasi dalam arti buruk, karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.
Ø Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
Ø Daerah Otonom dapat menjadi laboratorium dalam hal yang berhubungan dengan pemerintahan.
Ø Mengurangi kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
Ø Desentralisasi secara psikologis dapat memberikan kepuasan bagi Daerah karena sifatnya langsung.
Dari berbagai paparan di atas terlihat adanya unsur-unsur politik, teknis administratif dan ekonomis. Unsur-unsur politik mencakup seperti demokrasi, moral politik, pendidikan politik, partisipasi dan kemandirian. Sedangkan unsur teknis administratif diperlihatkan pada kebutuhan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Unsur ekonomis mengacu pada efisiensi pelayanan barang dan jasa serta penguatan sektor swasta. Dengan cara pandang demikian dapat dibedakan tiga macam desentralisasi, yakni devolusi (politik), dekonsentrasi (teknis administratif) dan privatisasi (ekonomis). Unsur-unsur tersebut merupakan alasan pembenar dianutnya desentraliasi dalam pemerintahan, yang dalam bentuk nyata berupa daerah-daerah otonom. Dengan kata lain adanya pemerintah daerah otonom didorong oleh kombinasi sejumlah alasan, baik alasan ideologi politik, teknis-administratif (manajemen) maupun ekonomis.
Implementasi desentralisasi pendidikan, di samping banyak sisi positifnya, perlu juga disadari oleh pelaku pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan membawa konsekuensi yang cukup berat, diantaranya sebagai berikut :
Dalam Bidang Pemerintahan
Dalam bidang ini perlu terjadi pengaturan perimbangan kewenangan anatara pusat dan daerah, dan masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Tuntutan adanya perubahan ini dalam berbagai hal terutama untuk membangun komitmen bersama sangat diperlukan, termasuk adanya kemauan perubahan perilaku para elit lokal. Hal ini menjadi penting sebab banyak yang mengkhawatirkan dengan adanya otonomi yang memberikan kewenangan dan kekuasaan sangat besar bagi bupati/walikota justru akan melahirkan raja-raja kecil yang tidak akan mengubah apa-apa, kecuali peningkatan pengrusakan sumber daya alam karena eksploitasi yang berlebihan. Gejala-gejala seperti ini memang sudah banyak terlihat, terutama sekali di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alamnya.
Dalam bidang pendidikan, pemerintah pusat mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal strategis pendidikan pada tatanan sosial yang meliputi :
a. pengembangan kurikulum pendidikan nasional
b. bantuan teknis
c. bantuan dana
d. monitoring
e. pembakuan mutu
f. pendidikan moral dan karakter bangsa, dan
g. pendidikan bahasa Indonesia
Sedangkan pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal operasional pendidikan, khususnya dalam pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-aspek :
a. kelembagaan
b. kurikulum
c. sumber daya manusia
d. pembiayaan, dan
e. sarana prasarana
Dalam pelaksanaannya, perlu dikembangkan kepemimpinan yang partisipatif dan demokratis, di mana budaya dialog, komunikasi, hubungan interpersonal, pelatihan bersama dan validasi teman sejawat, diberi tempat yang luas dalam penyelesaian masalah, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan pendidikan yang dilaksanakan.
Bidang pemerintahan ini perlu mendapatkan perhatian karena masih banyak terjadi tumpang tindih antara kepengurusan hal-hal strategis pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan hal-hal operasional pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah.
Dalam Bidang Sosial Budaya
Keadaan Indonesia yang sangat kaya akan keragaman dan kulturnya, sebenarnya merupakan potensi yang luar biasa. Sayangnya selama pemerintahan Orde Baru potensi ini tidak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya karena konsep keragaman yang dijalankan pemerintahan yang sentralistik. Mempertahankan dan meningkatkan budaya daerah masing-masing perlu terus-menerus didukung dan dikembangkan dengan tujuan agar tidak eksekutif dan terbuka akan pertumbuhan dan perkembangan budaya lain. Perlu dikembangkan wawasan budaya multicultural yang menghormati universalisme, pluralisme, kebhinekaan, keanekaragaman, dan bersifat insklusif serta plural dialogal komunikasinya.
Dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada dasarnya diperlukan orientasi lokal yang bersifat kedaerahan, maupun kepentingan nasional dan bahkan harus memiliki perspektif global.
Rendahnya wawasan dan sikap multicultural memungkinkan munculnya tindakan-tindakan anarkis yang pada akhirnya ini agak menggejala di Indonesia.
Dalam Bidang Pembelajaran
Sekolah sebagai ujung tombak proses pendidikan, di mana guru dan siswa secara terus menerus melakukan kontak pendidikan dan pembelajaran, sebenarnya merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, otonomi di bidang pendidikan hendaknya tidak diartikan sebagai pemberian kewenangan daerah untuk mengelola pendidikan, tetapi juga harus diartikan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengurus kegiatan proses pengelolaan pendidikan di sekolah dalam upaya mengoptimalkan hasil pembelajaran.
Pembelajaran merupakan tugas utama di sekolah, yang di dalamnya terjadi proses pembelajaran, proses pelatihan, proses pembimbingan dan proses penilaian. Guru harus terpanggil secara profesional untuk menjalankan tuga tersebut secara integral. Dengan otonomi pendidikan guru telah diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran tersebut secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Hak otonomi pendidikan dalam pembelajaran, pembimbingan, pelatihan dan sistem penilaian yang telah diberikan kepada sekolah dengan mengaplikasikan model MBS tersebut, sayangnya sampai sekarang masih belum bisa berjalan secara optimal. Para guru masih banyak yang apatis, apriori, statis dalam menanggapi pembaruan atau perubahan pendidikan. Mereka masih banyak yang terbelenggu pada sistem pemebelajaran yang konvensional yang lebih menekankan pada pemberian informasi, pemberian pengetahuan, dan sifatnya hanya pada hal-hal ingatan, serta mengabaikan pada aspek afektif dan konatif.
Anggaran Pendidikan
Salah satu faktor yang cukup memberikan pengaruh terhadap mutu pendidikan adalah anggaran pendidikan yang memadai. Persoalan anggaran pendidikan ini akan menyangkut besarnya anggaran dan alokasi anggaran. Besarnya anggaran di Indonesia sampai saat ini masih tergolong sangat kecil, bahkan dari beberapa sumber anggaran pendidikan di Indonesia merupakan yang terkecil di negara-negara ASEAN.
Menyangkut anggaran pendidikan yang sangat kecil tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar menempatkan investasi sumber daya manusia menjadi prioritas utama dalam meningkatkan daya saing di era global yang sangat kompetitif seperti sekarang. Namun, jika anggaran pendidikan berhasil ditingkatkan, pertanyaan berikutnya akan muncul yaitu apakah kenaikan anggaran pendidikan yang tiba-tiba tidak akan melahirkan ekses yang buruk, terutama dilihat dari efisiensi penggunaannya. Ini belum lagi dilihat realitas akan masih tingginya angka korupsi yang sangat kronis bagi bangsa ini..
Komite Sekolah dan Dewan Sekolah
Komite sekolah merupakan badan yang mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Anggota-anggota komite Sekolah terdiri dari kepala sekolah dan dewan guru, orang tua siswa dan masyarakat.
Dewan pendidikan adalah badan yang mewadai peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota.[40] Keanggotaan dewan pendidikan terdiri dari unsur masyarakat (LSM, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, yayasan penyelenggara pendidikan, dunia usaha/industri/asosiasi profesi, organisasi rofesi tenaga kependidikan, dan komite sekolah), unsur birokrasi dan legislatif (Dinas Pendidikan, anggota DPRD).
Penbentukan Dewan pendidikan dan Komite sekolah menurut Hasbullah[41] bertujuan sebagai berikut :
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di kabupaten/kota (untuk Dewan Pendidikan) dan satuan pendidikan (untuk Komite Sekolah);
b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan;
c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan pendidikan.

D. Penelitian Terdahulu
1. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah (Nurul Imamah Nisful Laily, TA 2004, STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo)
Pengembangan kurikulum di era otonomi daerah bertujuan untuk Pemberdayaan kurikulum muatan lokal sesuai dengan semangat desentralisasi pendidikan. Sebagai strategi pokok untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan yang relevan dengan kebutuhan lokaldan sejauh mungkin melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Dengan kurikulum lokal, setiap sekolah mampu :
a. Menjadikan setiap peserta didik menguasai tiap unit pembelajaran
b. Menjamin tercapainya standar kualitas tamatan lembaga pendidikan tertentu, yang selama ini menjadi masalah nasional di bidang pendidikan.
Bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat.
2. Manajemen Berbasis Sekolah (Studi Otoritas Guru dalam Penerapan MBS di SLTPN III Sidoarjo) (Skripsi Fatihul Muyassaroh, TA 2006, STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo)
Kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada kebijakan desentralisasi manajemen pendidikan. Bersamaan dengan desentralisasi manajemen pendidikan, pemerintah melakukan perintisan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan penekanan pada peningkatan mutu pendidikan. MBS merupakan implementasi dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Dalam taraf penerapan MBS, terdapat 4 pilar yang harus diperhatikan, yaitu : transparansi manajemen pendidikan, pembelajaran yang aktif dan efektif, pembelajaran yang menyenangkan, dan peran serta masyarakat.
3. Hubungan Sekolah dengan Masyarakat di Era Desentralisasi Pendidikan (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo) (Tesis Syaiful Hadi, TA 2005, Program Pascasarjana STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo).
Di era desentralisasi pendidikan, sekolah dituntut untuk mengembangkan pendidikan secara mandiri. Pada konteks ini, sekolah harus melakukan terobosan strategis yang diarahkan untuk menunjang kemajuan pendidikan di sekolah tersebut. Termasuk di antara terobosan adalah mengembangkan hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Berangkat dari tiga penelitian tersebut, maka penulis mengangkat judul penelitian “Persepsi Guru Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo tentang Desentralisasi Pendidikan”. Dengan fokus penelitian pada persepsi guru tentang desentralisasi pendidikan.



























[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2006) hal. 1
[2] Hasbullah, Ibid, hal 2
[3] Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta : PT Grasindo, 2003) hal. 41
[4] Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan bimbingan Teknis Penulisan Skripsi (Yogyakarta : liberty, 1984) hal. 15
[5] Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : Rosdakarya, 2002) hal. 62
[6] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005) hal 22
[7] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002) hal 22
[8] Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 10
[9] E. Mulyasa, op. cit hal. 22
[10] Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Artikel Pendidikan Tahun 2000, http://www.data/4.blog.de/media/285/1849285_62da7ca644.d.pdf
[11] Isbandi, Desentralisasi Pendidikan, Artikel Pendidikan, Tahun 2008, http://icmimudabanten.org/jurnal/?p=47
[12] Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Pendidikan Nasional dalam Undang-undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003, http://www.asahi-net.or.jp/~mm5r-atmd/html/FTP/paradigma.pdf
.
[13] Dr. Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan, Artikel Pendidikan Tahun 2008, http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html
[14] Arifin, Anwar, Prof. Dr., op.cit hal 3
[15] Sirozi, op.cit hal. 232
[16] Idem hal. 233
[17] Idem hal. 233
[18] Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Jakarta : Logos, 2002, hal 11
[19] ibid
[20] Ibid, hal 13
[21] Nurkholis, 2001, Hakikat Desentralisasi Model MBS. http://www.pendidikan.net/artikel.html
[22] Sirozi, op.cit., hal. 234
[23] Sirozi, op.cit hal. 239
[24] Hasbullah, Op.cit hal. 18
[25] Marihot Manulang, http://www.hariansib.com/index.php?option=com_contns&task=view&id=820&itemid=9, tahun 2001
[26] Idem, hal. 20
[27] Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. 2004, Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Baru, (Bandung : PT Genesindo), hal. 181
[28] Hasbullah, op.cit., hal. 27-28
[29] idem
[30] Marihot Manulang, http://pakguru online.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html, tahun 2008
[31] Marihot Manulang, op.cit
[32] idem
[33] Mulayas, E., Manajemen Berbasis Kompetensi; Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung:Remaja Rosdakarya), hal. 23, tahun 2004
[34] Tim Teknis BAPPENAS dan Bank Dunia, Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar, (Jakarta:BAPPENAS) hal 17, tahun 1999
[35] Halim, Abdul., 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta:Penerbit UPP AMP YPKN), hal. 15
[36] Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta:Penerbit Andi Offset), hal. 83
[37] St Kartono, 2002, Menebus Pendidikan yang Tergadai, (Yogyakarta:Penerbit Galang Press), hal 49
[38] Hasbullah, op.cit, hal. 37
[39] Isbandi, Op.cit
[40] Hasbullah, idem, hal. 47
[41] Idem, hal. 48

Tidak ada komentar: